Seorang Poltitikus di Swiss yang menentang Pendirian Masjid di Negaranya ahirnya masuk Islam



Daniel Streich, politikus Swiss, yang tenar karena kampanye menentang pendirian masjid di negaranya, tanpa diduga-duga, memeluk Islam.

Streich merupakan seorang politikus terkenal, dan ia adalah orang pertama yang meluncurkan perihal larangan kubah masjid, dan bahkan mempunyai ide untuk menutup masjid-masjid di Swiss. Ia berasal dari Partai Rakyat Swiss (SVP). Deklarasi konversi Streich ke Islam membuat heboh Swiss.

Streich mempropagandakan anti-gerakan Islam begitu meluas ke seantero negeri. Ia menaburkan benih-benih kemarahan dan cemoohan bagi umat Islam di Negara itu, dan membuka jalan bagi opini publik terhadap mimbar dan kubah masjid.

Tapi sekarang Streich telah menjadi seorang pemeluk Islam. Tanpa diduganya sama sekali, pemikiran anti-Islam yang akhirnya membawanya begitu dekat dengan agama ini. Streich bahkan sekarang mempunyai keinginan untuk membangun masjid yang paling indah di Eropa di Swiss.

Yang paling menarik dalam hal ini adalah bahwa pada saat ini ada empat masjid di Swiss dan Streich ingin membuat masjid yang kelima. Ia mengakui ingin mencari “pengampunan dosanya” yang telah meracuni Islam. Sekarang adalah fakta bahwa larangan kubah masjid telah memperoleh status hukum.

Abdul Majid Aldai, presiden OPI, sebuah LSM, bekerja untuk kesejahteraan Muslim, mengatakan bahwa orang Eropa sebenarnya memiliki keinginan yang besar untuk mengetahui tentang Islam. Beberapa dari mereka ingin tahu tentang hubungan antara Islam dan terorisme; sama halnya dengan Streich. Ceritanya, ternyata selama konfrontasi, Streich mempelajari Alquran dan mulai memahami Islam.

Streich adalah seorang anggota penting Partai Rakyat Swiss (SVP). Ia mempunyai posisi penting dan pengaruhnya menentukan kebijakan partai. Selain petisinya tentang kubah masjid itu, ia juga pernah memenangkan militer di Swiss Army karena popularitasnya.

Lahir di sebuah keluarga Kristen, Streich melakukan studi komprehensif Islam semata-mata untuk memfitnah Islam, tapi ajaran Islam memiliki dampak yang mendalam pada dirinya. Akhirnya ia malah antipati terhadap pemikirannya sendiri dan dari kegiatan politiknya, dan dia memeluk Islam. Streich sendiri kemdian disebut oleh SVO sebagai setan.

Dulu, ia mengatakan bahwa ia sering meluangkan waktu membaca Alkitab dan sering pergi ke gereja, tapi sekarang ia membaca Alquran dan melakukan salat lima waktu setiap hari. Dia membatalkan keanggotaannya di partai dan membuat pernyataan publik tentang ia masuk Islam. Streich mengatakan bahwa ia telah menemukan kebenaran hidup dalam Islam, yang tidak dapat ia temukan dalam agama sebelumnya.

Menemukan kebenaran Islam Saat Mengejar Cita-Cita menjadi Pendeta



Jamilah Kolocotronis, melalui jalan berliku untuk sampai menjadi seorang Muslim. Uniknya, ia mendapatkan hidayah dari Allah swt mengikrarkan dua kalimat syahadat, justeru saat ia menempuh pendidikan demi mewujudukan cita-citanya menjadi seorang pendeta agama Kristen Lutheran yang dianutnya.


Kisah Jamilah berawal pada tahun 1976. Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja. Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini, untuk pertamakalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.



Muslim itu bernama Abdul Mun’im dari Thailand. “Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah,” kata Jamilah.



Jamilah mengaku agak aneh mendengar Mun’im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa bahwa Mun’im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun’im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa mengkristenkan Mun’im.



Jamilah pun mengundang Mun’im datang ke gereja. Tapi betapa malu hatinya Jamilah ketika melihat Mun’im datang ke gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun’im berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar istilah “Muslim” dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.



Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan kontak dengan Mun’im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun ’70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.



Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta.



Tapi, cuma satu semester Jamilah merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa. Jamilah makin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitan bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah gereja. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta menerima saja keyakinan itu.



Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima kerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari rumahnya.



Mencari Kesalahan al-Quran



Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.



“Saya baca al-Quran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An’am ayat 73. Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam,” ujar Jamilah.



Jamilah memutuskan untuk kembali ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya.



Namun Jamilah tetap melanjutkan pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari teman-temannya di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha. “Saya cuma ingin menemukan kebenaran,” kata Jamilah.



Mengucap Dua Kalimat Syahadat



Seiring berjalannya waktu, Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.



Akhirnya, malam itu Jamilah membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.



“Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai,” tukas Jamilah.



Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika. (eramuslim)

Marcio Souza (Striker Semen Padang) asal Brazil Resmi Masuk Islam



Striker andalan Semen Padang asal Brasil Marcio Souza da Silva, resmi memeluk agama Islam. 

Dengan demikian, Marcio menyusul rekannya sesama pemain sepakbola asal Brasil, Antonio Claudio, yang sudah lebih dulu menjadi seorang muslim.

Prosesi beralihnya keyakinan striker yang sudah menyumbang 10 gol untuk SP di kompetisi divisi utama musim ini, berlangsung pada Senin (28/3) diMesjid Nurul Iman Kota Padang.

Pengucapan kalimat Tauhid Dua Kalimah Syahadat oleh Marcio yang dipandu Ketua MUI Kota Padang Buya Syamsul Bahri Khatib, dihadiri pengurus serta jamaah mesjid terbesar kota Padang itu, bisa dilafazkan dengan tenang dan lancar oleh Marcio.

Setelah dinyatakan sah menjadi Muslim, mantan striker Persela Lamongan yang didampingi rekan-rekan satu timnya, tim pelatih dan beberapa pengurus SP, resmi mengganti namanya menjadi Ahmad Marcio.

Ketika ditanya alasannya memeluk Islam, Marcio mengatakan, dia sudah lama tertarik untuk memeluk Islam. Karena selama empat tahun dia bermain di Indonesia yang merupakan negara Islam terbesar di dunia, juga ikut memengaruhinya."Saya senang dan tertarik melihat kawan-kawan lain, selalu taat dan rutin beribadah kalau pas tiba waktunya shalat. Bahkan dalam perjalanan away, di tengah perjalanan sekali pun kawan-kawan tak lupa beribadah. Mereka seperti menemukan kedamaian saat beribadah,"katanya.

Menurutnya, hal itu juga semakin memperkuat keyakinannya untuk beralih menjadi seorang muslim. semuanya murni datang dari dirinya, tanpa ada paksaan dari siapa pun. (*gcik).

Kisah Artis legenda Indonesia Chrisye saat masuk Islam



Guruh Sukarno Putra mendorongnya sebagai penyanyi ketika putra mantan presiden pertama RI itu membuat album menggabungkan musik Barat dengan tradisional Indonesia. Saat Radio Prambors menyelenggarakan Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR), akhir 1976, Chrisye menyanyikan lagu ‘Lilin-lilin Kecil’ karya James F Sundah. Masuk dapur rekaman, lagu itu digemari banyak orang. Tawaran panggung solo berdatangan. Chrisye menjadi penyanyi terkenal.

Ketenaran saja tidak cukup membuatnya yakin bisa menghidupi sebuah keluarga. Tapi, rasa takut itu terkikis oleh seorang wanita, GF Damayanti Noor akrab disapa Yanti salah satu personel kelompok musik Noor Bersaudara. `’Saya melihat daya tarik Yanti ketika dia bekerja menjadi sekretaris Guruh,” kata dia menuturkan.

Saat yakin ingin menikah dengan Yanti, ada satu yang menjadi penghalang: agama. Chrisye Kristen, Yanti Islam. Soal ini, Chrisye berujar, `’Sebetulnya ada hal yang sudah mengusik saya, jauh sebelum bertemu Yanti. Yakni, krisis keimanan saya. Di tengah kesibukan saya bermusik, sebetulnya saya merasakan kesepian yang misterius. Saya seperti merindukan sesuatu yang tidak bisa saya gambarkan bentuknya. Diam-diam saya menekuni agama Islam, hingga suatu saat saya menjadi sangat yakin. Saya ingin memeluk Islam.”

Keinginan itu ia pendam. Ia tak berani mengungkapkan, apalagi kepada orang tuanya. `’Saya pernah menangis semalaman karena memikirkan ini,” kata dia. Susah-payah ia mengumpulkan keberanian menyampaikan ke ayahnya. Tak ia nyana, `’Papi memegang perkataannya dulu. Bahwa ia hanya dititipi anak oleh Tuhan. `Semua berpulang pada kamu’.”

Jadilah Chrisye mualaf, bersama Yanti. Kini telah dikaruniai empat anak: Pasha, Risty, Masha, Nissa. Dalam buku itu, Chrisye menulis, ”Setelah menjadi mualaf, 1982, proses pendewasaan saya terus berjalan. Tahun 1990-an, saya lebih banyak meluangkan waktu mendalami agama. Buat saya, spritualitas memberikan lebih dari sekadar memiliki agama karena spritualitas memberikan rasa aman, tenteram, dan jalan. Saya merasakan hidup dan karier saya bergulir pada tujuan yang jelas berkat pendalaman spritualitas yang sama jalani.”

Cobaan akhirnya datang juga. Agustus 2005, Chrisye harus beristirahat akibat penyakit kanker paru-paru yang dideritanya. Setelah menjalani kemoterapi enam kali di Singapura, dia masih sempat menjadi bintang tamu grup band anak muda. Di tengah masa penyembuhan itulah lahir ide menuliskan perjalanan musiknya, sebuah memoar musikal
Sumber : http://noertika.wordpress.com

Artis Indonesia Sam Brodie Ganti Nama setelah masuk Islam



Artis internasional Sam Brodie memilih jalan hidupnya dalam menentukan keyakinan dengan menjadi seorang mualaf. Ini dilakukannya karena dorongan spiritualnya untuk mempelajari agama Islam lebih dalam. Selain itu, peran serta dan dorongan sahabatnya Maia Estianty juga menjadi andil dan keinginan kuat Sam mempelajari agama Islam.

"Dasarnya sebenarnya bukan karena apa-apa. Semua ini karena hati aku telah terbuka. Selain itu juga karena pacarku yang memang beragama Islam. Aku memilih menjadi mualaf dengan niat serius, karena ini adalah pilihan keyakinan. Peran serta Bunda Maia memang sangat besar, dua minggu setelah gabung dengan dia, aku menjadi mualaf," ungkap Sam saat berbincang dengan KapanLagi.com™ di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (21/1).

Pria yang mengaku dekat dengan Paris Hilton ini resmi menjadi mualaf sejak 8 Desember 2010 lalu di hadapan Kepala KUA kecamatan Jatih Asih, Bekasi. Saat ini, Sam memang tengah menjalani proses dalam menjalani ibadah yang memang sudah diatur dalam agama Islam.

"Awalnya memang tidak begitu langsung saja ya. Semuanya butuh proses. Saat ini aku memang ikut kelas bareng anak-anak kecil, ikut-ikut sholat. Baca doanya kan juga belum hapal. Belajar sedikit-sedikit nggak langsung tau semua. Kayak anak TK belajar. Kalau aku belajarnya di masjid, kelas mengaji dengan anak kecil di Masjid Attin. Terkadang malu juga, ikut mereka," kata Sam.

Dengan perubahan keyakinannya ini, Sam juga mengubah namanya dengan nama yang lebih islami. Jika dirinya memiliki nama lahir, Samuel Da Bettay, kini setelah masuk Islam dirinya mengganti nama menjadi Muhammad Samuel Da Bettay.

"Untungnya aku punya teman seperti Bunda Maia. Aku ini memang bisa dibilang baru banget. Dapat bimbingan baca Al Quran dari Maia Estianty. Kita juga sering berdebat mengenai sebuah ilmu Al Quran. Setelah ketemu seseorang yang hebat yaitu Maia Estianty, saya mendapatkan banyak ilmu terutama ilmu ikhlas," pungkasnya.  (kpl/adt/boo)

Kapanlagi.com

Masuk Islamnya Yudi Mulyana mantan Pendeta militan dari Cirebon

 
 
 
Sejak memeluk Islam, ia ingin bertemu ketiga anaknya yang dibawa pergi keluarganya.

Suara azan Subuh menyayat-nyayat hati Yudi Mulyana, pendeta yang juga staf pengajar agama Kristen di sebuah sekolah dasar di Cirebon, pagi itu. Jantungnya berdegup kencang. Ia limbung dan roboh.

''Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya pagi itu,'' ujarnya sambil menceritakan kejadian di pengujung Agustus 2008. Padahal, ia memang terbiasa bangun pagi, berbarengan Subuh. Melakukan doa pagi dan membaca Alkitab adalah aktivitas rutinnya membuka hari.

Namun pagi itu, ia seolah lumpuh. Meski panik, ia mencoba tenang. Yudi membuat banyak asumsi untuk menghibur diri. Namun, tak satu pun mampu menolongnya. Hatinya menjadi tenang setelah membuka saluran televisi menyaksikan acara zikir yang dipimpin oleh Ustaz Arifin Ilham. Ia berkomat-kamit mengikuti zikir yang dibacakan jamaah Arifin di layar televisi. ''Tuhan, apa yang terjadi dengan diri saya,'' tuturnya. Kalimat Thayyibah menenteramkannya hingga ia bisa bangkit dan kembali berjalan.

Yudi mencari permakluman bahwa fisiknya terlalu capek. Kuliah S-2 Teologi di sebuah perguruan tinggi di Bandung, sementara dia tinggal di Cirebon, menyita perhatian dan energinya. ''Besok juga sembuh,'' pikirnya kala itu.

Namun, kendati fisiknya sudah segar, ia kembali mengalami peristiwa yang sama keesokan harinya. Bahkan, setiap kali mendengar suara azan, tubuhnya bergetar. Di waktu lain, hatinya gelisah setiap kali menyentuh Alkitab.Pada pekan yang sama, ia menemui Ustaz Nudzom, putra ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Cirebon. Ia menceritakan pengalamannya. Komentar Nudzom saat itu, ''Anda mendapat hidayah.''Mendengar jawaban itu, hati Yudi berontak. ''Tuhan, saya tak ingin menjadi Muslim,'' ujarnya.

Bersyahadat

Pengalaman di ujung fajar itu selalu menghantui pikiran Yudi. Ia makin merasa tak nyaman berada di gereja. Anehnya, hatinya menjadi adem saat melintas di depan masjid atau secara diam-diam masuk ke area masjid. Puncaknya, tanggal 7 Agustus 2008 saat sedang mengajar, ia mendengar suara azan seolah berkumandang di telinganya. ''Timbul keinginan yang kuat dari dalam diri saya untuk membaca syahadat,'' ujarnya.

Ia segera menemui Dra Hj Sri Hayatun, kepala sekolah tempatnya mengajar. Sri keheranan dengan sikap Yudi. Di Cirebon, ia dikenal sebagai guru dan pendeta militan. Sepak terjangnya selama ini membuat ratusan Muslim sukses dimurtadkan (keluar dari Islam). Dia kemudian diantar ke Kantor Departemen Agama Kota Cirebon. Bahkan, salah seorang pejabat di kantor itu menyarankannya untuk pulang dan berpikir sungguh-sungguh. ''Berpindah keyakinan bukan perkara main-main,'' kata pejabat Depag tersebut sebagaimana ditirukan Yudi.

Namun, tekadnya sudah bulat. Bahkan, telepon mamanya yang meminta Yudi untuk mengurungkan niatnya, diabaikannya. ''Meski saya menjadi Muslim, saya tetap akan menjadi anak mama,'' jelasnya kepada perempuan yang melahirkannya di ujung telepon.

Maka siang itu, dibimbing oleh KH Mahfud, ia bersyahadat. Dan, berita pendeta menjadi Muslim segera tersebar ke seantero kota. Saat pulang, ia menjumpai rumahnya sudah kosong. Istrinya yang mendengar kabar itu segera mengungsikan diri dan anak-anaknya ke Indramayu. Surat cerai dilayangkan dua bulan kemudian.

Lima Hal

''Saya melakukan pencarian teologis setelah saya bersyahadat,'' kata Yudi. Ia memulai dengan pertanyaan, Apakah ajaran semua agama sama? Kalau sama, harus jelas di mana persamaannya dan pasti. Kalau ada yang berbeda, juga harus jelas perbedaannya.

Dari hasil penelusurannya, sedikitnya Yudi menemukan ada lima persamaan ajaran agama-agama besar, yaitu harus menyembah Tuhan; mengenal konsep dosa; hidup adalah mencari jalan ke surga; harus berbuat baik; dan ada kehidupan setelah kematian. Setelah diteliti lagi, kata dia, ternyata hanya temanya saja yang sama, tetapi ajaran dan konsepnya berbeda.

''Saya mulai bertanya, jadi Tuhan itu satu atau banyak?'' ujarnya. Maka, ia mempersempit persoalan, hanya tentang konsep keesaan Tuhan dan soal pengampunan dosa. Ajaran Islam dan Kristen tentang kedua hal itu pun dipersandingkan.Dalam Kristen, Adam dan Hawa yang terusir dari surga meninggalkan dosa warisan bagi anak cucunya. ''Berarti proses pengampunan Tuhan tidak tuntas,'' ujarnya. Padahal, Tuhan tentulah bukan pendendam seperti sifat makhluk-Nya.

Dalam Islam, ia menemukan hal yang beda. Manusia terlahir dalam kondisi fitrah. Dia menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.Ia juga dibuat terkagum-kagum dengan asmaul husna . ''Tuhan itu satu, tapi Dia mempunyai 99 nama yang melambangkan sifat-Nya,'' ujarnya.'Perilaku Tuhan' dalam Islam, kata dia, melambangkan nama-nama itu. '' Kenapa Allah menghukum, karena dia mempunyai sifat Adil. Namun, Dia juga pemaaf Ghafurjuga rahman dan rahim,'' tambahnya.Ia makin yakin dengan pilihannya. ''Hanya Islam yang konsep ketuhanannya bisa dipahami secara rasional,'' ujarnya.

Giat berdakwah

Kini, hari-hari Yudi Mulyana diwarnai dengan berbagai kesibukan dakwah. Dia memberi testimoni dalam dakwahnya ke berbagai kota di Indonesia. Saat Republika menemuinya di Jakarta, Yudi baru beberapa hari pulang umrah. Sebelumnya, ia selama seminggu berada di Provinsi Riau.''Saya ingin menebus dosa-dosa saya telah memurtadkan sekian banyak orang dengan menjadi pendakwah,'' ujarnya.

Ia menyebarkan pesan-pesan Islam kepada siapa saja yang ditemuinya. ''Saya selalu bilang, Anda semua beruntung menjadi Muslim sejak awal. Islam itu agama agung yang ajarannya sangat masuk akal.''Dia mencontohkan dirinya, yang harus kehilangan keluarga karena pilihannya menjadi Muslim. Bukan perkara mudah, karena selama lebih dari 10 tahun perkawinannya, tak pernah ada gejolak dalam rumah tangganya. ''Kami keluarga yang hangat,'' ujarnya.

Yudi selalu berkaca-kaca kalau menceritakan anak-anaknya. Dia dan anak-anaknya kini dipisahkan. Meski kini dia telah memiliki keluarga baruia menikah dengan seorang Muslimah asal Cirebonkerinduan pada buah hatinya tak pernah pupus.Ada satu mimpinya, Yudi ingin menjadi imam shalat bagi ketiga buah hatinya. ''Saya ingin sekali ketemu mereka dalam Islam,'' ujarnya terbata-bata.

Mengkristenkan Orang dalam 1,5 Jam

Yudi Mulyana termenung sejenak ketika ditanya orang Islam yang berhasil dimurtadkannya. ''Sudah tak terhitung jumlahnya,'' jelasnya. Apalagi, mereka yang berhasil dimurtadkan itu biasanya juga aktif melakukan pemurtadan terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Sebelum menempuh pendidikan S-2, aku Yudi, metode yang dikembangkan untuk memurtadkan orang masih menggunakan metode konvensional. ''Bersahabat, membantu, lalu diajak masuk Kristen. Itu cara yang sudah sangat kuno,'' ujarnya.

Ia dan rekan-rekannya kemudian mengembangkan sistem baru untuk menarik jamaah. Caranya adalah dengan 'masuk' ke alam pikiran orang yang bersangkutan, mengguncangkan keimanannya, dan mengajaknya kepada cahaya, agama baru yang dibawanya.

Secara khusus, Yudi mendalami dan mengembangkan teori untuk menarik remaja dan anak-anak berpindah keyakinan. Untuk anak SD, misalnya, ada metode yang disebutnya 'Buku Tanpa Kata'. Dalam buku itu, hanya ada lima warna yang menyimbolkan keyakinan. Sampai di satu titik, sang anak akan dibimbing pada satu warna yang merujuk pada agama yang ditawarkannya. Dan, hanya dalam waktu singkat, ia berhasil memurtadkan anak-anak itu. ''Hanya dalam 1,5 jam saja, mereka sudah siap untuk meninggalkan agama lamanya,'' jelasnya.

Bersama komunitasnya, Yudi aktif mengembangkan metode-metode baru Kristenisasi. Motode ini lahir dari beragam praktik yang dilakukan di lapangan. ''Secara berkala kami berkumpul untuk melakukan evaluasi.''Demi mengemban misi 'menggarap' anak-anak pula, Yudi rela untuk menjadi pegawai negeri dan mengajar di sekolah dasar. ''Sungguh, awalnya saya stres mengajar anak-anak. Biasanya saya mengajar mahasiswa dan para misionaris dewasa,'' tambahnya.

Namun, Yudi dinilai sukses mengemban misi itu. Anak-anak yang berhasil dimurtadkannya, disiapkan untuk menjadi misionaris kecil. Biasanya, begitu masuk kelas 4 SD, mereka diberi materi-materi dasar. ''Begitu mereka kelas 5 dan 6 SD, mereka mulai militan. Mereka sudah bisa menarik teman-teman sebayanya untuk pindah agama,'' jelasnya.

Ia saat itu meyakini, tugas menyebarkan agama bukan hanya tugas rohaniawan, tapi juga seluruh jamaah. ''Jadi, yang awam pun harus dimobilisasi untuk menjadi penyebar agama,'' jelasnya.Dasar pemikirannya, kata Yudi, sederhana saja, yaitu bahwa seekor domba itu hanya akan lahir dari domba juga, bukan gajah atau yang lain. ''Jadi, yang bisa mengajak seseorang kepada iman yang kami yakini saat itu, ya orang dari komunitas itu,'' katanya.

Maka, selain anak-anak SD, ia juga mengader tukang becak, buruh pabrik, hingga karyawan. ''Merekalah yang nantinya akan menjadi penyeru di lingkungan mereka,'' tambahnya.Ia juga menemukan sendiri metode yang disebutnya 'aliran hidayah'. Intinya, setiap hari ia mewajibkan dirinya untuk bercerita tentang ajaran agamanya saat itu. Perkara orang yang diajak bercerita itu berpindah agama atau tidak, biarkan hidayah yang bicara. ''Dalam satu hari, saya harus menyiarkan syalom minimal pada satu orang,'' ujarnya.

Setiap Muslim itu dai

Kini, setelah menjadi Muslim, metode yang ditemukannya itu pun digunakannya. Dalam sehari, minimal ia berdakwah pada satu orang. ''Kata ajaran agama kita, sampaikan walau hanya satu ayat,'' ujarnya mengutip hadis Nabi SAW.Menurutnya, tak harus menjadi dai untuk bisa mendakwahkan Islam. Setiap Muslim, kata dia, bisa menjadi penyeru (dai). ''Setiap Muslim adalah misionaris bagi agamanya,'' ujarnya.

Ia mengkritik lemahnya umat Islam dalam soal ini. Semestinya, setiap Muslim menjadi public relation bagi agamanya, karena sesungguhnya hanya Islam-lah agama yang konsep ketuhanannya bisa dipertanggungjawabkan, bahkan secara rasional. ''Jangan hanya karena yang lain dan dengan alasan menegakkan toleransi, mereka justru mendangkalkan akidahnya sendiri,'' ujarnya.

www.mualaf.com

Muaallah keturunan Cina ini adalah seorang DR. dan pakar perbangkan Syariah




Sholihah.web.id, Siapa yang mengira muallaf keturunan cina ini malah menjadi aktor di balik kesuksesan perbankan syariah di indonesia? Namun begitulah Islam. Islam membimbing manusia pada hakikat sesungguhnya di mana batas-batas etnis, suku, bangsa, dan ikatan lain dilebur menjadi satu ikatan menjadi ikatan Islam saja. Maka Islam tak peduli lahir dari mana ataupun berasal dari suku apa. 

Beliau adalah Dr. Muhammad Syafii Antonio, MEc. Lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 12 mei 1965. Nama aslinya Nio Cwan Chung (sekarang M. Syafii Antonio). Muhammad Syafii Antonio adalah WNI keturunan Tionghoa, dia merupakan pakar ekonomi islam. Sejak kecil Muhammad Syafii Antonio mengenal dan menganut ajaran Konghucu, karena ayah Muhammad Syafii Antonio seorang pendeta Konghucu. Selain mengenal ajaran Konghucu, Muhammad Syafii Antonio juga mengenal ajaran Islam melalui pergaulan di lingkungan rumah dan sekolah. Muhammad Syafii Antonio sering memperhatikan cara-cara ibadah orang-orang muslim. Kerena terlalu sering memperhatikan tanpa sadar Muhammad Syafii Antonio diam-diam suka melakukan shalat. Kegiatan ibadah orang lain ini Muhammad Syafii Antonio lakukan walaupun Muhammad Syafii Antonio belum mengikrarkan diri menjadi seorang muslim.

Kehidupan keluarga Muhammad Syafii Antonio sangat memberikan kebebasan dalam memilih agama. Pada awalnya Syafii Kecil memilih agama Kristen Protestan . Setelah itu Syafii Antonio berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. Kepindahan Muhammad Syafii Antonio ke agama Kristen Protestan tidak membuat ayah Muhammad Syafii Antonio marah. Ayah akan sangat kecewa jika Muhammad Syafii Antonio sekeluarga memilih Islam sebagai agama. Sikap ayah Muhammad Syafii Antonio ini berangkat dari image gambaran buruk terhadap pemeluk Islam. Ayah Muhammad Syafii Antonio sebenarnya melihat ajaran Islam itu bagus. Apalagi dilihat dari sisi Al Qur'an dan hadits. Tapi, ayah Muhammad Syafii Antonio sangat heran pada pemeluknya yang tidak mencerminkan kesempurnaan ajaran agamanya.

Gambaran buruk tentang kaum muslimin itu menurut ayah Muhammad Syafii Antonio terlihat dari banyaknya umat Islam yang berada dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Bahkan, sampai mencuri sandal di mushola pun dilakukan oleh umat Islam sendiri. Jadi keindahan dan kebagusan ajaran Islam dinodai oleh prilaku umatnya yang kurang baik. Kendati demikian buruknya citra kaum muslimin di mata ayah, tak membuat Muhammad Syafii Antonio kendur untuk mengetahui lebih jauh tentang agama islam. 

Untuk mengetahui agama Islam, Muhammad Syafii Antonio mencoba mengkaji Islam secara komparatif (perbandingan) dengan agama-agama lain. Dalam melakukan studi perbandingan ini Muhammad Syafii Antonio menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. Sengaja Muhammad Syafii Antonio tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat secara obyektif mengetahui hasilnya.

Berdasarkan tiga pendekatan itu, Muhammad Syafii Antonio melihat Islam benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama-agama lain. Dalam Islam Muhammad Syafii Antonio temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid. Selain itu, Muhammad Syafii Antonio sangat tertarik pada kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur'an. Kitab suci ini penuh dengan kemukjizatan, baik ditinjau dari sisi bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan berbagai aspek lainnya. Ajaran Islam juga memiliki system nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, meliputi system tatanan akidah, kepercayaan, dan tidak perlu perantara dalam beribadah. Dibanding agama lain, ibadah dalam islam diartikan secara universal. Artinya, semua yang dilakukan baik ritual, rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan siar Allah, nilainya adalah ibadah.

Selain itu, dibanding agama lain, terbukti tidak ada agama yang memiliki sistem selengkap agama Islam. Hasil dari studi banding inilah yang memantapkan hati Muhammad Syafii Antonio untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup. Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati, maka di saat Muhammad Syafii Antonio berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, Muhammad Syafii Antonio putuskan untuk memeluk agama Islam. Oleh K.H.Abdullah bin Nuh al-Ghazali Muhammad Syafii Antonio dibimbing untuk mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat pada tahun 1984. Nama Muhammad Syafii Antonio kemudian diganti menjadi Syafii Antonio.

Keputusan yang Muhammad Syafii Antonio ambil untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Ternyata mendapat tantangan dari pihak keluarga. Muhammad Syafii Antonio dikucilkan dan diusir dari rumah. Jika Muhammad Syafii Antonio pulang, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarung Muhammad Syafii Antonio sering diludahi. Perlakuan keluarga terhadap diri Muhammad Syafii Antonio tak Muhammad Syafii Antonio hadapi dengan wajah marah, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah konsekuensi dari keputusan yang Muhammad Syafii Antonio ambil.

Perlakuan dan sikap Muhammad Syafii Antonio terhadap mereka membuahkan hasil. Tak lama kemudian mama menyusul jejak Muhammad Syafii Antonio menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Setelah mengikrarkan diri, Muhammad Syafii Antonio terus mempelajari Islam, mulai dari membaca buku, diskusi, dan sebagainya. Kemudian Muhammad Syafii Antonio mempelajari bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, dibawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar. Lulus SMA Muhammad Syafii Antonio melanjutkan ke ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Itupun tidak lama, kemudian Muhammad Syafii Antonio melanjutkan sekolah ke University of yourdan (Yordania). Selesai studi S1 Muhammad Syafii Antonio melanjutkan program S2 di international Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam.

Selesai studi, Muhammad Syafii Antonio bekerja dan mengajar pada beberapa universitas. Segala aktivitas Muhammad Syafii Antonio sengaja Muhammad Syafii Antonio arahkan pada bidang agama. Untuk membantu saudara-saudara muslim Tionghoa, Muhammad Syafii Antonio aktif pada Yayasan Haji Karim Oei. Di yayasan inilah para mualaf mendapat informasi dan pembinaan. Mulai dari bimbingan shalat, membaca Al-Qur'an, diskusi, ceramah, dan kajian Islam, hingga informasi mengenai agama Islam. [] Rafsanjani

*Diolah dari berbagai sumber

Saat menjauhi Islam ahirnya Ratna Novita masuk Islam



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meski dibesarkan dalam keluarga Budha, sejak kecil, orang tua Ratna Novita, 32 tahun, tidak pernah memaksa atau melarangnya untuk menganut agama tertentu. "Intinya kami sendiri yang mencari agama itu," ungkap Ratna

Ayah dan ibunya membebaskan dalam urusan satu itu. Tak heran, bila menyimak kisahnya, Ratna yang tertarik belajar Islam sempat pula beribadah di Gereja.

Perkenalan serius dengan Islam dimulai ketika duduk di bangku sekolah dasar. Sebenarnya Ratna yang melihat teman-temannya sebagian besar beragama Islam, awalnya ikut-ikutan memilih pelajaran agama Islam. Maklum, saat itu sekolah umum hanya memberikan dua pilihan pelajaran agama, Islam dan Kristen.

Sejak itu, Ratna mulai mempelajari segala hal tentang Islam, mulai kisah para nabi, bacaan Shalat, surat-surat pendek serta sejarah Islam. Lambat laun ketertarikannya dengan Islam sangat besar.

“Lingkungan sekitar yang mayoritas Muslim membuat saya tertarik dengan Islam, maka dari sana lah saya giat mempelajari segala hal mengenai Islam” ujar Ratna

Ratna tak hanya belajar di sekolah. Selepas maghrib bersama teman-temannya di kampung halaman, ia mengikuti pelajaran mengaji Al Qur'an.

Rutinitas itu ia lakoni selama enam tahun. Ratna yang keturunan Tionghoa dan tercatat beragama Budha dalam data kependudukan sipil, mengaku merasa menjadi Muslim meski belum pernah mengikrarkan syahadat.

Tapi ketika SMP, ritual Ratna mulai berganti. Ketika ia tinggal dengan kakaknya yang menganut Katholik, di sekolah ia beralih mempelajari agama tersebut. Tiap minggu ia juga ikut pergi ke gereja bersama sang kakak.

“Saat SMP saya ikut kakak, jadi saya mengikuti agama yang ia anut. Tetapi saat saya menginjakkan kaki ke gereja saya tidak merasakan kenyamanan di sana," ungkapnya.

"Saat itu saya pikir karena baru pertama kali dan masih canggung. Tetapi lama kelamaan rasa itu semakin tak bisa dipungkiri. Saya benar-benar tidak tenang di gereja” tutur anak ke-6 dari 8 bersaudara itu.

Ketidaknyamanan itu membuat Ratna berpikir ulang. Ia menyadari Katholik bukan lah agama yang ia cari selama ini. Islam-lah yang sesungguhnya ia butuhkan. Kesadaran itu mendorong Ratna untuk kembali pada Islam.

Ia pun membulatkan tekad dengan mengucap dua kalimat syahadat di salah satu masjid di kampungnya, Jawa Tengah. “Saat SD mungkin dianggap karena ikut-ikutan teman, tetapi saya merasakan hal yang lebih dari sekedar ikut-ikutan," ujarnya.

Setelah menyandang status sebagai seorang Muslim, Ratna tak hanya menjadikan Islam sebagai agama sesuai catatan sipil di KTP. Ia juga terus belajar menegenai Islam dan mencoba mengaplikasikan semua ajaran agama yang ia peroleh sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari.

Saat menikah, Ratna memutuskan untuk menutup auratnya sesuai dengan perintah agama. Selama pernikahannya Ratna dikaruniai satu orang anak.
Meskipun saat ini ia telah berpisah dengan sang suami, namun, itu tak membuat ke-Islamannya menurun. “Awalnya saya merasa sendiri, karena saya pikir sangat jarang keturunan Cina yang menjadi seorang muslim," tuturnya.

Akhirnya ia mencoba mencari di internet mengenai keberadaan komunitas Muslim Cina dan mendapatkan satu komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang berkantor di Jakarta Timur. "Kini saya  mengikuti pengajian di Masjid Lautze, Pasar Baru,” tutur Ratna

“Islam adalah agama yang Damai, banyak hal-hal yang diluar akal manusia” ujar Ratna. ”Saya mengatakan demikian karena saya telah merasakannya," katanya.

Beberapa perilaku keseharian itu menurut Ratna, seperti menyisihkan uang untuk bersedekah setiap hari. Ia merasakan manfaat besar dari bersedekah, yakni pertolongan Allah yang tidak diduga-duga ketika ia tengah mengalami kesulitan.

"Intinya adalah kita harus yakin akan kebesaran Allah, karena setiap prilaku kita Allah akan membalasnya, jika kita menjadi orang baik maka Allah akan senantiasa member kebaikan pada kita” ujarnya.

Ratna kini memiliki keinginan besar untuk beribadah Haji. Ia juga berharap dapat mendirikan sebuah yayasan sosial untuk membantu orang-orang yang tidak mampu terutama dalam bidang pendidikan. “Dikampung saya masih banyak orang-orang kurang mampu, jika saya bisa membantu mereka dalam hal pendidikan, alangkah bahagianya mereka.”

Kisah Anton Medan Masuk Islam

 
 
kisahmuallaf.com – Nama saya Tan Hok Liang, tapi biasa dipanggil Kok Lien. Saya dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak ke-2 dari 17 bersaudara. Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing Tinggi. Ketika saya sedang senang senangnya menikmati dunia pendidikan, tiba-tiba dunia sakolah terpaksa saya tinggalkan karena ibu menyuruh saya berhenti sekolah. Jadi, saya hanya tujuh bulan menikmati bangku SD. Mulai saat itulah saya menjadi tulang punggung keluarga. Saya sadar, mungkin inilah garis hidup saya. Saya terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari
Pada usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal Tebing Tinggi. Sehari-hari saya menjadi calo, mencari penumpang bus. Suatu ketika, saya berhasil mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus. Tapi entah mengapa, tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.
Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya. Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.
Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.
Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun. Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.
Merantau ke Jakarta.
Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.
Saya hanya mempunvai uang seribu rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta mencari alamat paman saya yang pernah menyayangi saya. Berbulan-bulan saya hidup menggelandang mencari alamat paman. Waktu itu alamat yang saya ingat hanyalah daerah Mangga Besar. Dengan susah payah, akhirnya saya temukan alamat paman. Sungguh tak saya sangka, paman yang dulu menyayangi saya, ternyata mengusir saya. Hilang sudah harapan saya untuk memperbaiki masa depan.
Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang di klenteng.
Mulai saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya untuk melakukan semua ini. Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan. Saya beralih ke dunia rampok. Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah. Dan terakhir, saya beralih sebagai bandar judi. Saat-saat itulahsaya mengalami kejayaan. Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.
Proses Mencari Tuhan
Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang tersedia.
Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.
Masuk Islam
Tapi, kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saya lakukan. Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya kalah judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya. Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bers
ama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim Atta’ibin.
Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar. Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta’ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
Kini, keinginan saya hanya satu. Saya ingin mewujudkan pangabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi. Saya ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina dengan baik. Entah kapan pondok pesantren harapan saya itu bisa terwujud. Saya hanya berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu.

Steven Indra Widjaja, Pastur yang Sangat Benci Islam Ini ahirnya Masuk Islam






Steven Indra Widjaja betul-betul tidak menyangka kebenciannya yg mendalam pada Islam, justru mengantarkan beliau dengan cara perlahan jatuh di pelukan agama tauhid ini.
Sejak kecil, ke-2 orang tuanya telah menyemai benih kebencian kepada Islam terhadap diri laki laki kelahiran Jakarta 14 Juli 1981 ini.
Di usianya yg baru menginjak th kelima, Steven sejak mulai tidak sedikit berbuat onar. Dirinya sengaja menaruh tulang babi di atas makanan pembantunya yg beragama Islam. Tidak cuma itu, Steven mungil mau sekali menyimpan sesuatu di atas kepala orang muslim yg tengah sujud selama mereka shalat, bahkan menendangnya.
“Saya dahulu benci banget sama Islam. Ya, pokoknya benci saja menyaksikan orang Islam. Itu yg ada di kepala aku saat itu. Pokoknya aku jahat banget,” kenang Steven.
Oey Ing Sing Sing, ayah steven, yakni penganut Kristen Protestan. Tidak Hanya jadi aktivis di GKI (Geraja Kristen Indonesia) & gereja Bethel di Muara Karang Jakarta Utara, dirinya serta pengusaha di Century 21 & jabar Indah. Beliau tidak sedikit mencari dana di luar negara buat pembangunan gereja-gereja di Indonesia.
Biarpun begitu, Steven malah dipersiapkan yang merupakan bruder (penyebar falsafah Kristen katolik) oleh ayahnya. Terkecuali sebab dorongan dari sang nenek, Steven serta dipersiapkan sbg penganut katolik generasi ke3 dari kakek ibu dirinya.
“Saya katolik, nenek aku katolik, Oom aku yg di Amerika & di Surabaya pun Katolik. Yg yang lain protestan. Benar-benar, kita agak campur pula di hunian,” ungkap Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa & Keluarga) ini.
Utk mempersiapkan juga sebagai Bruder generasi ke-3, Steven diasramakan oleh ayahnya di Pangudi Luhur Ambarawa, Jawa Tengah. Pendidikan ini beliau jalani hingga tingkat SMA. Sebab buat jadi bruder minimal mesti mempunyai ijazah Diploma III (D3), selepas menamatkan pendidikannya di SMA Don Bosco th 1997, Steven diregistrasikan ke sekolah tinggi Saint Michael’s College, di Worcestershire, Inggris.
Spesialis Islamologi diambilnya terhadap mata pelajaran agama, lantaran dia mau sekali menghancurkan umat Islam lewat ajarannya. Dirinya belajar hadits & riwayatnya buat mencari celah supaya orang muslim yakin bahwa apa yg diajarkan dalam agama mereka itu tak benar.
Bahkan buat mengemban pekerjaan yang merupakan satu orang penginjil, Steven mesti melakoni proses disumpah tak boleh menikah & mesti mengabdi semua hidupnya buat Tuhan. Di sekolah ini Steven menjalaninya tatkala 2,5 th. Sesudah selesai, Steven kembali pulang ke Indonesia juga sebagai seseorang penginjil.
Tetapi seiring dgn aktifitasnya yang merupakan penginjil, timbul keraguan dalam diri Steven atas apa yg dirinya pelajari sampai kini. Apa yg dirinya pelajarinya pergi belakang bersama buku-buku Islam yg dia temui di toko-toko buku.
Sebuah hri, tatkala mendatangi salah satu toko buku di Jakarta, Steven menemukan buku karangan Imam Ghazali, menyangkut hadits & periwayatannya. Buku yg mengulas hadist & peristiwa periwayatannya itu lumayan menarik perhatian Steven. Nyata-nyatanya tidak sedikit referensi & penjelasan hadits yg diriwayatkan oleh Bukhari & Muslim.
Awal dari sinilah Steven sejak mulai mengetahui bahwa hadist-hadits yg sampai kini dipelajarinya di Saint Michael’s College nyata-nyatanya tak dipercaya oleh umat Islam sendiri. Hadits-hadits yg dipelajarinya tersebut nyata-nyatanya palsu. Dari sana seterusnya Steven sejak mulai mencari hadits-hadits yg sahih.
Kemauan Steven buat menuntut ilmu falsafah Islam tidak cuma hingga di situ. Di sela-sela tugasnya yang merupakan satu orang penganut Katolik, diam-diam Steven sejak mulai mencari ilmu kegiatan shalat.
Gerakan mengamati orang yg shalat itu dia laksanakan selepas menjalankan ritual ibadah Pekan di gereja Katedral, Jakarta. ga ada yg mengetahui kegiatannya itu, kecuali seseorang adik laki-lakinya. Tetapi, sang adik diam saja atas perilakunya itu.
“Ketika saat shalat Dzuhur datang & adzan berkumandang dari Tempat Ibadah Istiqlal, kalung salib aku masukkan ke dalam pakaian, sepatu aku lepas & titipkan. Seterusnya, aku pinjem sandal tukang sapu kebun di Katedral. Sesudah habis shalat, aku balik lagi mengenakan kalung salib & kembali ke Katedral,” ucap lulusan Fakultas Komunikasi Kampus Padjadjaran, Bandung, ini.
Aktivitasnya di mata sang adik itu, beliau lakoni selagi dua bln. &, berkat hubungan kerja sang adik serta, aksi yg dirinya jalankan tersebut tak hingga diketahui oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Steven, dia baru sebatas mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat & selagi shalat diam seluruh.
Step berikutnya Steven mulai sejak mencari ilmu shalat Maghrib di suatu tempat ibadah di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Dikala itu, dia beserta keluarganya tinggal di wilayah tersebut.
“Dari situ, aku sejak mulai mengetahui nyatanya ada pun shalat yg bacaannya keras. Seterusnya, aku mulai sejak menggali ilmu shalat-shalat apa saja yg bacaannya dikeraskan & tak,” ujar Steven.
Usai mempelajari shalat dzuhur & maghrib, dia menambahkan ke shalat Isya, Subuh, dulu Ashar.
Kesemua aktivitas & bacaan shalat lima kala tersebut dia pelajari bersama mengikuti apa yg dilakukan jama’ah shalat. Hingga tata kiat berwudhu serta, menurut penuturannya, dia pelajari & hafal bersama menirukan apa yg dilakukan oleh para jama’ah shalat.
“Saya perhatikan orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru sesudah sepi, aku mempraktikkannya,” ujarnya.
Alhamdulillah, dalam diwaktu seminggu Steven telah hafal aktivitas berwudhu. Demikian serta, bersama aktivitas shalat & bacaannya. Steven menyaksikan aktivitas imam & mendengar bacaannya sambil mengupayakan mengingat & menghafalkan.
“Habis shalat itu adem. Ada bahasan kultum menyangkut apa yg tadi dibaca. Itu miliki nilai lebih. Tidak sekedar nyanyi, makan, & tertawa seperti yg aku jalankan di gereja. Islam itu lebih patuh aturan. Seandainya Adzan bunyi, serta-merta datang ke tempat ibadah,” tambah cowok yg dikala ini tengah memahami musthalah hadits lewat sekian banyak guru akbar ahli hadits.
Sesudah merasa mantap, Steven serta memutuskan buat masuk Islam dgn dibantu oleh satu orang sahabat bisnisnya bernama Harry, di Serang, Banten. Dihadapan Harry & 4 orang temannya berikut salah seseorang Ustadz, Steven mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah Itu Steven juga memanfaatkan nama Indra Wibowo Ash-Shiddiqi. Sejarah itu berjalan sebelum datangnya bln Ramadhan di thn 2000.
Ke-Islamannya itu baru ketahuan oleh ke-2 orangtuanya sesudah dia memutuskan buat kembali ke Jakarta, dikala hendak membawa baju. Berita ini ketahuan dari kawan-kawan usaha sang ayah yg tengah mengerjakan proyek pembangunan resort di wilayah Muara Karang & Pluit.
“Makanya papa punyai tidak sedikit kenalan & sohib. & bisa jadi beberapa orang itu tidak jarang menonton aku datang ke tempat ibadah & mengenakan peci, sebab itu dilaporkan ke papa,” ungkapnya.
Ayahnya serta memutuskan utk mengirim orang buat memata-matai tiap-tiap gerakan Indra sehari-hari. Sesudah ada fakta nyata, beliau setelah itu dipanggil, dulu disidang oleh ayahnya.
Di hadapan ayahnya, Steven mengemukakan bahwa selagi menjalani pendidikan calon bruder, beliau memperoleh fakta pahit. Pastur yg sampai kini dirinya hormati, nyatanya jalankan aksi asusila kepada para suster. Begitu juga para frater yg menghamili siswinya, juga para bruder yg jadi homo.
Seakan tak terima bersama penjelasan sang anak, ayahnya juga menampar Indra sampai kepalanya terbentur ke kaca. Beruntung, dikala kejadian sang ibu segera mengambil Indra ke Hunian Sakit Atmajaya. Tujuh jahitan menghias dahinya ketika itu. Kendati begitu, sang ibu terus tak dapat menerima ketentuan Steven.
Bahkan, oleh ayahnya, Indra seterusnya diusir, sesudah dipaksa menandatangani surat opini di hadapan notaris, menyangkut pelepasan haknya sbg salah satu pewaris dalam keluarga.
“Saya tak boleh menerima seluruhnya sarana keluarga yg jadi hak aku,” ujarnya. Meskipun hidup dgn penuh cobaan, ungkap Indra, masihlah ada Allah SWT yg menyayanginya & membukakan pintu rezeki buat beliau.
Biodata
Nama : Indra Wibowo Ash Shidiqi
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Juli 1981
Masuk Islam : 2000
FB: https://www.facebook.com/steven.indra.wibowo
Pendidikan Akhir : Sarjana (S1) Komunikasi Universitas Padjadjaran
Aktivitas :
– Sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
– Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga)
– Pengurus Mualaf Center Online http://www.mualaf.com
Sumber: islamedia.id

38 Tahun Jadi Penginjil, Hanny Kristanto Masuk Islam



Pengakuan murtad tersebut disampaikan secara terbuka dihadapan jemaat salah satu gereja di Jakarta, yakni GBI Ecclesia yang diunggah melalui Youtube pada tanggal 24 Mei 2015.

Menurut Koh Hanny, demikian ia biasa disapa,"Bukan suatu yang luar biasa Lukman Sardi murtad, kasian Idris Sardi putranya murtad karena tidak akan ada lagi yang mendoakan."

Ia kembali menjelaskan bahwa lucu jika ada orang Islam murtad ke kristen, karena banyak pastur, penginjil masuk Islam, "Buat saya jika ada orang Islam murtad ke kristen (itu) lucu, karena banyak sekali teman saya pastur, pendeta, penginjil masuk Islam. Selang satu hari 
setelah pernyataan murtadnya Lukman Sardi, Mbak Retno itu sekolah suster sejak 2010 yang sekolah biarawati memutuskan untuk menjadi muallaf. Jadi jika muslim murtad, dia bukan muslim yang rajin shalat, dia bukan muslim yang taat dan mohon maaf dia berzina setiap hari."


Namun menurut Ustadz Hanny Kristianto, Sekjen Muallaf Center Indonesia, murtadnya Lukman Sardi tidak merugikan umat Islam. “Tidak, tidak merugikan umat Islam. 

"Alhamdulillah itu menjadi wacana yang baik untuk kaum muslim bahwa tidak semua orang yang mengaku dirinya Islam, dia Islam yang baik” ujar Koh Hanny yang menjadi penginjil selama 38 tahun.

Sedangkan sampai sekarang belum pernah terdengar kabar seseorang yang keluar agama Islam dan menjadi menjadi tokoh agama tersebut dengan baik.
Bahkan ia mengungkapkan hal yang mengejutkan, bahwa ketua Mualaf Center Indonesia itu bapaknya Ketua Persatuan Gereja Indonesia, "Ketua Mualaf Center Indonesia itu bapaknya petinggi Ketua Persatuan Gereja se Indonesia (PGI) yang mengurusi gereja dari Sabang sampai Merauke, anaknya petinggi PGI namanya Steven Indra Wibowo."

Simak video wawancara eksklusif tim VIVO (voa islam video online) dengan Ustadz Hanny Kristianto, Sekjen Muallaf Center Indonesia.

Molly Carlson, Masuk Islam Lewat Buku dan Mimpi



kisahmuallaf.com – Molly Carlson tak menduga sebuah buku fiksi yang dibacanya di masa kecil akan membuatnya mengenal Islam. Selanjutnya perkenalan itu secara tidak sadar membekas di hatinya.
Membuatnya diam-diam meyakini Islam sebagai agama yang paling benar. Bahwa semua doa, pelayanan, dan salib yang disilangkannya dengan jari di dadanya, hanyalah sebuah kegiatan yang selama ini tak menyentuh hatinya.
“Saya tidak ingat berapa umur saya ketika membaca buku itu, tapi saya ingat betul satu adegan di buku itu yang membuat saya mengenal Islam dan mempertanyakan identitas saya sebagai Katolik,” ujarnya. Itu adalah buku King of the Wind karangan Marguerite Henry. Buku itu menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang berasal dari Maroko dan kudanya.
Sementara adegan yang dikenang Molly adalah ketika anak tersebut dikisahkan berpuasa saat Ramadhan. “Entah mengapa setelah membaca kisah tersebut, hati saya tiba-tiba tergerak,” katanya. Sejak itu, dia mulai tertarik terhadap Islam. Rasa penasaran menuntunnya untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang Islam dan agamanya saat itu.
Lalu beberapa mimpi menuntunnya untuk mengenal Islam lebih dalam. “Pada umur 12 tahun saya mendapatkan mimpi misterius yang tidak benar-benar saya mengerti. Tidak menakutkan, namun mimpi itu seperti merefleksi hati saya ketika itu,” ujarnya. Di mimpi itu, Molly berdiri di sebuah ruangan kotak yang dindingnya terbuat dari kayu dan memiliki karpet berpola di lantainya. Ruangan tersebut diterangi oleh lentera.
Molly berdiri di tengah ruangan tersebut. Di sebelah kirinya terdapat sebuah pintu kayu berukir untuk masuk ke ruangan lainnya. Meskipun terpisah pintu, namun dalam mimpi tersebut Molly melihat banyak perempuan di dalam ruangan tersebut. Mereka semua menggunakan hijab. Sementara ruangan tempat dia berdiri saat itu adalah ruangan yang dipenuhi laki-laki.
Di dalam mimpi itu, Molly sadar bahwa apa yang dilakukannya salah. Bahwa seharusnya dia tidak berada di ruangan tersebut. Bahwa seharusnya dia bergabung dengan para perempuan di ruangan sebalahnya. Dalam mimpi itu pula dia menyadari keberadaan sebuah kekuatan besar yang dipahaminya sebagai sosok Tuhan. Namun Dia merasa kecewa kepada Molly karena berada di ruangan tersebut. Entah mengapa, mengetahui hal tersebut, Molly merasa sangat sedih. Mimpi tersebut membuat Molly kecil semakin bertanya-tanya.
***
Di lain waktu, mimpi lain menyerbunya. Saat itu, Molly telah cukup dewasa untuk membuat keputusan atas dirinya. Dalam mimpi tersebut, Molly melihat seorang perempuan berdiri di sebelahnya. Perempuan itu menggunakan hijab hitam yang menutup tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki, seperti seorang ninja. Molly hanya bisa melihat mata perempuan itu.
Dia merasa takut melihat sosok tersebut, namun lalu memberanikan diri untuk mendekat kepada perempuan tersebut. Dia melihat mata perempuan tersebut lebih seksama. Dia terkejut mengetahuo bahwa perempuan yang berada di depannya itu adalah dirinya sendiri. “Saya bisa tahu dari mata itu. Itu mata saya. Kami seperti cermin. Sejenak saya berpikir bahwa mimpi tersebut adalah masa depan saya kelak,” ujarnya.
Kejadian demi kejadian tak lantas membuatnya sebagai muslim. Eksplorasinya tentang Islam yang lebih mendalam baru dilakukan setelah peristiwa 9/11. “Saat itu saya sedang menempuh semester pertama saya di kuliah. Saya berusia 18 tahun,” katanya. Ketika peristiwa itu terjadi, Molly memiliki sejumlah teman dekat yang beragama Islam. Namun selama ini, pertemanan mereka tidak banyak menyinggung soal agama. “Kami tidak membahas tentang agama setiap kali bertemu. Mereka tidak pernah mempertanyakan keyakinan saya dan tidak pernah memaksakan keyakinan mereka kepada saya,” katanya.
Sayangnya peristiwa tersebut telah menyebarkan kebencian terhadap muslim. Namun tidak demikian dengan Molly. Penilaiannya tentang teman-temannya itu tidak berubah. Mereka tetap menjadi sahabat baik bagi Molly. Tak ada kebencian yang ada adalah simpati. Bukan pada korban yang meninggal karena peristiwa tersebut, namun pada teman-temannya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejadian itu tetap dihakimi hanya karena mereka muslim.
“Saya tidak tega melihat teman saya diperlakukan tidak baik pasca kejadian tersebut. Saya sudah mengenal mereka sejak lama. Mereka orang yang sangat baik. Bukan teroris ataupun ekstremis,” ujarnya.
Suatu kali, Molly pernah meminjam hijab, abaya, dan niqab milik seorang temannya dan datang ke kampusnya dengan penampilan tersebut. Hal tersebut dilakukannya hanya untuk mencari tahu bagaimana rasanya menjadi mereka. “Kenyataannya saya benar-benar diperlakukan secara berbeda. Perlakukan yang keras bahkan membuat saya menangis,” ujarnya.
Perlakukan tersebut tak menyurutkan keputusannya untuk memeluk Islam di kemudian hati. Pada 2005, ketika usinya 22 tahun, di ruang tamu sebuah keluarga Muslim kenalannya, Molly membaca syahadat.
“Saya masih ingat betul perasaan saya saat itu. Saya merasakan tangan Tuhan merangkul saya dan mencabut dosa saya serta membuat saya menjadi orang yang baru,” katanya. Sejak saat itu, Molly tidak pernah melihat ke belakang. “Saya tidak pernah menyesali keputusan saya. Saya menemukan lebih banyak arti dan kesenangan dalam hidup saya setelah menjadi muslim,” ujarnya.

Yusuf Estes, Musisi dan Pendeta yang Memeluk Islam



kisahmuallaf.com – Tak sedikit yang bertanya-tanya soal keputusan pendeta Yusuf Estes memeluk Islam. Apalagi di tengah pembicaraan negatif tentang Islam dan muslim.
“Banyak orang ingin tahu, bahkan mempertanyakan secara detail mengapa saya memeluk Islam,” ujar Estes.
Estes lahir dari keluarga Kristen yang taat di Midwest, Amerika Serikat. Keluarganya secara turun-temurun membangun gereja dan sekolah di AS.
Ia menempuh pendidikan dasar di Houston, Texas. Semasa kecil, ia selalu menghadiri gereja secara teratur. Ia dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, Texas.
Keingintahuannya yang besar terkait ajaran Kristen membuatnya ingin mengunjungi gereja-gereja lain. Ia datangi gereja Metodis, Episkopal. Nazareth, Agape, Presbyterian dan lainnya.
Tak hanya itu, Estes juga mempelajari agama lain seperti Hindu, Yahudi, dan Buddha. “Saya tidak menaruh perhatian serius pada Islam. Inilah yang banyak ditanyakan oleh teman-temanku,” kenang dia.
Tak hanya tertarik dengan agama, Estes juga menaruh perhatian pada musik, utamanya musik klasik. Kebetulan, keluarganya gemar menikmati musik. Ia bahkan menjadi pengajar Keyboard pada tahun 1960 dan tiga tahun kemudian memiliki studio sendiri di Laurel, Maryland.
Seiring berlalunya waktu, bisnis yang digeluti Estes terus berkembang. Bersama ayahnya, ia membuat program hiburan dan atraksi. Ia juga membuka toko piano dan organ sepanjang jalan dari Texas, Oklahoma dan Florida.
Dari bisnis itu, Estes memperoleh pendapatan hingga jutaan dolar AS. Tapi ada satu hal yang mengganjal. Pikirannya tidak merasa tenang. “Mengapa Tuhan menciptakan aku? Apa yang Tuhan inginkan?. Tapi di agamaku terdahulu, siapa pun harus percaya tanpa perlu bertanya,” tuturnya.
Satu hal yang membuat Estes merasa aneh adalah tidak terdapat kata “trinitas” dalam Injil. Masalah itu, kata dia, telah menjadi perhatian selama dua abad. Ia pernah mempertanyakan masalah ini kepada para pendeta.
Nyatanya, tidak ada jawaban yang logis. Sebaliknya, terlalu banyak analogi dan pendapat yang aneh. Untuk sementara pikiran itu teralihkan oleh kesibukannya dalam mengurusi bisnis.
Bisnis Estes terus berkembang, kali ini ia memproduksi lagu-lagu pujian dan mendistribusikannya secara gratis kepada pensiunan, rumah sakit dan panti jompo. “Memberikan siraman rohani kepada orang lain membuatku lupa dengan keraguan yang kualami,” ungkapnya.
Yusuf EstesDiawal 1991, bisnis Estes mulai merambah keluar negeri. Negara pertama yang ia kunjungi adalah Mesir.
Di negeri Piramida, Estes bertemu dengan seorang pria Muslim. Satu hal yang ada di pikiran Estes tentang Muslim, “teroris”. Estes tidak percaya ia harus berhubungan dengan sosok yang begitu ia benci.
“Mereka tidak percaya kepada Tuhan. Mereka adalah penyembah kotak hitam di padang pasir. Mereka cium tanah lima kali sehari. Sial, saya tidak ingin bertemu dengan mereka,” kata Estes menirukan ucapannya dahulu saat tiba pertama kali di Mesir.
Sikap Estes akhirnya luluh, ketika ayahnya menjelaskan sosok yang bakal ditemui. Ayahnya mengatakan calon klien yang akan ditemui memiliki kepribadian yang baik. Tapi alasan yang paling diterima Estes adalah rencana ayahnya untuk mengkristenkan setiap Muslim. “Itulah alasan kuat yang akhirnya membuat saya mau bertemu dengan pria Muslim itu,” ucapnya.
Akhirnya, Estes dan ayahnya bertemu dengan pria Muslim itu setelah kebaktian. Dengan sikap jumawa, Estes memegang erat Injil di tangannya. Ia bawa salib dengan tampilan mengilap. Detik-detik bertemu dengan kliennya itu, Estes terkejut.
“Orang ini sangat hangat. Mereka ramah sekali,” kenang Estes ketika bertemu pertama kali dengan pria tersebut. Penampilan pria ini seperti kebanyakan masyarakat Arab. Mereka kenakan jubah panjang, bersorban, dan berjanggut. Bedanya, pria ini tidak memiliki rambut.

Kolocotronis, Menemukan Kebenaran Islam Saat Mengejar Cita-Cita Jadi Pendeta



kisahmuallaf.com – Jamilah Kolocotronis, melalui jalan berliku untuk sampai menjadi seorang Muslim. Uniknya, ia mendapatkan hidayah dari Allah swt mengikrarkan dua kalimat syahadat, justeru saat ia menempuh pendidikan demi mewujudukan cita-citanya menjadi seorang pendeta agama Kristen Lutheran yang dianutnya.
Kisah Jamilah berawal pada tahun 1976. Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja. Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini, untuk pertamakalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.
Muslim itu bernama Abdul Mun’im dari Thailand. “Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah,” kata Jamilah.
Jamilah mengaku agak aneh mendengar Mun’im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa bahwa Mun’im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun’im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa mengkristenkan Mun’im.
Jamilah pun mengundang Mun’im datang ke gereja. Tapi betapa malu hatinya Jamilah ketika melihat Mun’im datang ke gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun’im berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar istilah “Muslim” dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.
Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan kontak dengan Mun’im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun ’70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.
Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta.
Tapi, cuma satu semester Jamilah merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa. Jamilah makin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitab bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah gereja. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta menerima saja keyakinan itu.
Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima kerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari rumahnya.
Mencari Kesalahan al-Quran
Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.
“Saya baca al-Quran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An’am ayat 73. Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam,” ujar Jamilah.
Jamilah memutuskan untuk kembali ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya.
Namun Jamilah tetap melanjutkan pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari teman-temannya di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha. “Saya cuma ingin menemukan kebenaran,” kata Jamilah.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Seiring berjalannya waktu, Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.
Akhirnya, malam itu Jamilah membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.
“Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai,” tukas Jamilah.
Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika.